Senin, 02 Juli 2012

TUGAS SOFTSKILL



TUGAS SOFTSKILL



NAMA :RAY JOSES
KELAS :1SA02
NPM :156119



























KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Yogyakarta dan tempat-tempat bersejarahnya, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan melihat secara langsung ke tempat tujuan. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang Yogyakarta dan tempat bersejarahnya yang pada bulan Desember kami kunjungi. Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada guru Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang tempat-tempat yang bersejarah di Yogyakarta.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Jakarta,juli 2012

Penulis

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Yogyakarta adalah tempat obyek wisata yang tidak asing lagi dimata orang ataupun di berbagai manca Negara. Disitu banyak berbagai tempat-tempat obyek pariwisata yang sangat penting, bersejarah dan mempunyai keunikan tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing
            Tempat-tempat obyek pariwisata tersebut misalnya : Candi Borobudur, Candi Prambanan, Monumen Jogja Kembali (Monjali), Keraton Yogyakarta, Malioboro, Goa Jatijajar, Museum Dirgantara, dan Museum Kereta.
            Hal-hal yang melatar belakangi pembuatan makalah ini adalah :
1. Tugas dari guru yang bersangkutan.
2. Penulis ingin memperluas pengetahuan tentang Yogyakarta.
3. Penulis ingin mengetahui keindahan tempat pariwisata Yogyakarta secara langsung.
4. Penulis ingin mengetahui letak-letak tempat pariwisata Yogyakarta.

B. Pembatasan Masalah

            Penulis akan menjelaskan pembatasan masalah atau ruang lingkup pembahasan ini. Ruang lingkup pembahasan ini adalah keunggulan dan kelebihan obyek wisata yang ada di Yogyakarta, serta hubungannya dengan dunia pendidikan
            Yang dimaksud dengan keindahan dan keunikan obyek wisata ini ada hubungannya dengan dunia pendidikan adalah tentang ciri khas dan kesan-kesan yang dapat memberikan manfaat atau menambah banyak wawasan dan pengetahuan.
            Dengan demikian penulis banyak mengambil manfaat dan mengetahui yang sesungguhnya ap ayang tersimpan dari obyek wisata tersebut.



C. Tujuan dan Manfaat

            Tujuan dan manfaat penulis membuat makalah tentang Yogyakarta adalah :
1. Penulis dapat menjelaskan dan menguraikan dari keindahan dan keunikan obyek wisata tersebut.
2. Penulis dapat menjelaskan tentang pengaruh dan manfaat dari obyek wisata tersebut dengan dunia pendidikan.
3. Penulis dapat menjelaskan tentang apa yang sebenarnya tersimpat dalam obyek wisata tersebut.
4. Menambah wawasan atau pengetahuan yang luas khususnya bagi penulis sendiri dan umum bagi para pembaca yang budiman.
5. Penulis dapat belajar dan mengasah otak dari apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita baca untuk menimbulkan suatu gagasan atau ide dalam menciptakan / mengembangkan suatu bakat / kemampuan seseorang.
6. Penulis dapat mengenang peristiwa-peristiwa dahulu dan mengajak kita untuk berfikir lebih luas dalam mengatasi dan memperbaikinya

            Demikian, tujuan dan manfaat yang dapat disebutkan oleh penulis.
           
           










SEJARAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja tas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan masih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Negara Republik Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara

CANDI BOROBUDUR








1.     Gambaran Umum
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.


2.     Sejarah Candi Borobudur
Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Candi ini selama berabad-abad tidak lagi digunakan. Kemudian karena letusan gunung berapi, sebagian besar bangunan Candi Borobudur tertutup tanah vulkanik. Selain itu, bangunan juga tertutup berbagai pepohonan dan semak belukar selama berabad-abad. Kemudian bangunan candi ini mulai terlupakan pada zaman Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-15.
Pada tahun 1814 saat Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro daerah Magelang. Karena minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa, maka Raffles segera memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
Cornelius dibantu oleh sekitar 200 pria menebang pepohonan dan menyingkirkan semak belukar yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena mempertimbangkan bangunan yang sudah rapuh dan bisa runtuh, maka Cornelius melaporkan kepada Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa gambar. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada masa penjajahan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1956, pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO untuk meneliti kerusakan Borobudur. Lalu pada tahun 1963, keluar keputusan resmi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan bantuan dari UNESCO. Namun pemugaran ini baru benar-benar mulai dilakukan pada tanggal 10 Agustus 1973. Proses pemugaran baru selesai pada tahun 1984. Sejak tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai World Heritage Site atau Warisan Dunia oleh UNESCO.

3.     Nama Borobudur

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
4.     Struktur Borobudur
   http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/8c/Borobudur-Nothwest-view.jpg/400px-Borobudur-Nothwest-view.jpg                                       http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/27/Borobudur_Mandala.svg/180px-Borobudur_Mandala.svg.png                                                        
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter, tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan.10 tingkat itu terdiri dari;enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya, yang menghadap kea rah barat. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Jumlah stupa di kompleksnya tersebut 594.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
·         Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.
·         Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
·         Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
·         Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur Mandala.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.


5.     Relief
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.



Bagan Relief
Tingkat
Posisi/ Letak
Cerita Relief
Jumlah pigura
Kaki candi asli
- ----------
Karmawibhangga
160 pigura
Tingkat I
- dinding
Lalitawistara
120 pigura
-----------
- ---------
Jataka/ awadana
120 pigura
-----------
- langkan
Jataka/ awadana
372 pigura
-----------
- ---------
Jataka/ awadana
128 pigura
Tingkat II
- dinding
Gandawyuha
128 pigura
-----------
- langkan
Jataka/ awadana
100 pigura
Tingkat III
- dinding
Gandawyuha
88 pigura
-----------
- Langkan
Gandawyuha
88 pigura
Tingkat IV
- dinding
Gandawyuha
84 pigura
-----------
- langkan
Gandawyuha
72 pigura
-----------
jumlah
--------------
1460 pigura

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
a.      Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

b.      Lalitawistara
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/1/1c/Karmawibhangga_Borobudur.jpg/180px-Karmawibhangga_Borobudur.jpgMerupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
c.       Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan
 persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
d.      Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.


6.     Tahapan pembangunan Borobudur
·         Tahap pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850 M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.
·         Tahap kedua
Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.


·       Tahap ketiga
Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.
·       Tahap keempat
Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief perubahan tangga dan lengkung atas pintu.
















7.     Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a8/Borobudur_photograph_by_van_kinsbergen.jpg/230px-Borobudur_photograph_by_van_kinsbergen.jpg                                                                        http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/e/ed/Batu_peringatan_pemugaran_candi_Borobudur.JPG/180px-Batu_peringatan_pemugaran_candi_Borobudur.JPG
·         1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
·         1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.
·         1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
·         1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
·         1926 - Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
·         1956 - pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.
·         1963 - pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
·         1968 - pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
·         1971 - pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
·         1972 - International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.
·         10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984
·         21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok Islam ekstrem yang dipimpin Habib Husein Ali Alhabsyi.
·         1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.

 

 

 

 

CANDI PRAMBANAN

 

 

 

 

 

Candi Rara Jonggrang atau Lara Jonggrang yang terletak di Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi ini terletak di pulau Jawa, kurang lebih 20 km timur Yogyakarta, 40 km barat Surakarta dan 120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Rara Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten.
Candi ini dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak.

Renovasi

Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda, kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. beberapa saat kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih metodis dan sistematis, sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993 [1].
Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Sekarang, candi ini adalah sebuah situs yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1991. Antara lain hal ini berarti bahwa kompleks ini terlindung dan memiliki status istimewa, misalkan juga dalam situasi peperangan.
Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, tinggi bangunan utama adalah 47m.
Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil atau candi utama dan lebih daripada 250 candi kecil.
Tiga candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.
Candi Siwa di tengah-tengah, memuat empat ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin. Sementara yang pertama memuat sebuah arca Batara Siwa setinggi tiga meter, tiga lainnya mengandung arca-arca yang ukuran lebih kecil, yaitu arca Durga, sakti atau istri Batara Siwa, Agastya, gurunya, dan Ganesa, putranya.
Arca Durga juga disebut sebagai Rara atau Lara/Loro Jongrang (dara langsing) oleh penduduk setempat. Untuk lengkapnya bisa melihat di artikel Loro Jonggrang.
Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Batara Wisnu, yang menghadap ke arah utara dan satunya dipersembahkan kepada Batara Brahma, yang menghadap ke arah selatan. Selain itu ada beberapa candi kecil lainnya yang dipersembahkan kepada sang lembu Nandini, wahana Batara Siwa, sang Angsa, wahana Batara Brahma, dan sang Garuda, wahana Batara Wisnu.
Lalu relief di sekeliling dua puluh tepi candi menggambarkan wiracarita Ramayana. Versi yang digambarkan di sini berbeda dengan Kakawin Ramayana Jawa Kuna, tetapi mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan melalui tradisi lisan. Selain itu kompleks candi ini dikelilingi oleh lebih dari 250 candi yang ukurannya berbeda-beda dan disebut perwara. Di dalam kompleks candi Prambanan terdapat juga museum yang menyimpan benda sejarah, termasuk batu Lingga batara Siwa, sebagai lambang kesuburan.

 Salah satu dari candi dalam kompleks Candi Prambanan

 Patung Ganesha di Prambanan

 Salah satu relief di dinding Candi Prambanan

 

 

MONUMEN YOGYA KEMBALI (Monjali)

 

 

 

 

 

 

 

 

Monumen Yogya Kembali atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah “Monjali” dibangun pada tanggal 29 Juni 1985 yang ditandai dengan upacara tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Gagasan untuk mendirikan monumen ini dilontarkan oleh Kolonel Sugiarto, selaku Walikotamadya Yogyakarta dalam Peringatan Yogya Kembali yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1983.
Dipilihnya nama “Yogya Kembali” dengan maksud sebagai tetenger atau penanda peristiwa sejarah ditariknya tentara pendudukan Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949. Hal ini sebagai tanda awal bebasnya Bangsa Indonesia secara nyata dari kekuasaan pemerintahan Belanda.
Pembangunan monumen dengan bentuk kerucut dan terdiri dari tiga lantai ini selesai dibangun dalam waktu empat tahun dan diresmikan pembukaannya tanggal 6 Juli 1989 oleh Presiden RI pada waktu itu, Soeharto. Monumen setinggi kurang lebih 31.8 m ini terletak di Dusun Jongkang, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Bentuk kerucutnya melambangkan bentuk gunung yang menjadi perlambang kesuburan selain memiliki makna melestarikan budaya nenek moyang pra-sejarah. Pemilihan lokasi Monumen Yogya Kembali juga memiliki alasan berlatarkan budaya Yogya, yaitu monumen terletak pada sumbu atau poros imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak dan pantai Parang Tritis. Sumbu imajiner ini sering disebut dengan Poros Makrokosmos atau Sumbu Besar Kehidupan. Titik imajinernya sendiri bisa anda lihat pada lantai 3 ditempat berdirinya tiang bendera.
Bangunan monumen ini terdiri dari taman depan dimana pengunjung bisa melihat Meriam PSU Kaliber 60mm buatan Rusia, sedangkan dihalaman paling depan anda bisa jumpai Replika Pesawat Guntai dan Pesawat Cureng yang dipakai dalam peristiwa perjuangan ini.
Memasuki halaman museum terdapat dinding yang memenuhi satu sisi selatan monumen yang berisi Rana Daftar Nama Pahlawan dimana pengunjung bisa melihat 422 nama pahlawan yang gugur di daerah Wehrkreise III antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949 dan puisi “Karawang-Bekasi” karangan Khairil Anwar.
Bangunan monumen yang terdiri dari tiga lantai terbagi dalam beberapa bagian. Seluruh bangunan dikelilingi oleh kolam air. Di lantai satu adalah museum dimana terdapat empat ruang museum yang menyajikan benda-benda koleksi berupa: realia, replika, foto, dokumen, heraldika, berbagai jenis senjata, bentuk evokatif dapur umum yang kesemuanya menggambarkan suasana perang kemerdekaan 1945-1949. Pengunjung bisa melihat tandu yang digunakan untuk menggotong Panglima Besar Jenderal Soedirman selama perang gerilya, seragam tentara dan dokar yang juga pernah digunakan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Konon total koleksi barang-barang dalam museum tersebut mencapai ribuan.
Perpustakaan menggunakan satu ruang di lantai satu yang merupakan perpustakaan khusus yang menyediakan bahan-bahan referensi sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh umum.
Ruang Serbaguna adalah ruangan yang terletak ditengah-tengah ruangan lantai satu lengkap dengan panggung terbuka-nya. Setiap hari Sabtu dan Minggu diruangan ini digelar berbagai atraksi diantaranya tarian klasik, gamelan, musik electone yang memainkan lagu-lagu perjuangan. Ruangan Serbaguna ini bisa digunakan oleh umum untuk acara-acara pernikahan, seminar, wisuda dan lain-lain.
Di lantai 2 bagian dinding paling luar yang melindungi tubuh monumen, pengunjung bisa melihat 40 buah Relief Perjuangan Phisik dan Diplomasi perjuangan Bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 hingga 28 Desember 1949. Pengunjung bisa melihat antara lain relief Jenderal Mayor Meyer yang mengancam Sri Sultan HB IX pada tanggal 3 Maret 1949, Presiden dan para pemimpin lain kembali ke Yogyakarta, pernyataan dari Sri Sultan HB IX yang menyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bagian dari Negara Republik Indonesia, Perayaan Kemerdekaan di halaman Kraton Ngayogyakarta dan lain-lain.
Didalam bangunan lantai dua terdapat sepuluh diorama perjuangan Phisik dan Diplomasi Bangsa Indonesia sejak 19 Desember 1948 hingga 17 Agustus 1949 dengan ukuran life-size melingkari bangunan monumen. Diorama diawali dengan Agresi Militer Belanda memasuki kota Yogyakarta dalam rangka menguasai kembali Replublik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 dimana pengunjung bisa menyaksikan miniatur pesawat-pesawat Belanda yang dibuat mirip dengan asli-nya. Apabila anda datang didampingi pemandu maka pemandu akan dengan senang hati menjelaskan kepada anda peristiwa sesungguhnya yang terjadi dimana pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Van Langen berhasil menguasai Lapangan Udara Maguwo (kini Adisucipto) pada pukul 08.00 dan mengadakan ‘sapu bersih’ terhadap apa yang dijumpai sepanjang jalan menuju Kota Yogyakarta (Jalan Solo). Kurang lebih pukul 16.00 pasukan Belanda sudah menguasai seluruh kota Yogyakarta dan beberapa tempat-tempat penting lain seperti Istana Presiden (Gedung Agung) dan Benteng Vredeburg. Sejak itu perjuangan merebut kembali Negara RI dimulai.
Kesepuluh diorama disajikan dalam kronologis waktu sehingga memudahkan pengunjung untuk memahami urutan kejadian yang sebenarnya. Disini kita juga semakin memahami peran perjuangan Jenderal Soedirman yang waktu itu dengan kondisi kesehatan sangat lemah dan paru-paru sebelah tetap memaksakan diri ikut berjuang dengan cara gerilya walaupun Presiden Soekarno sudah memintanya untuk tinggal bersamanya saja. Diorama ini disajikan diawal-awal.
Ditengah-tengah diorama disisipkan juga adegan yang terkenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto yang memiliki tujuan politik, psikologis dan militer dimana bangsa Indonesia ingin mengabarkan pada dunia mengenai eksistensi-nya. Berita keberhasilan SU 1 Maret 1949 tersebut berhasil disebarluaskan melalui jaringan radio AURI dengan sandi PC-2 di Banaran, Playen,         Gunung Kidul secara beranting hingga sampai ke Burma, India dan sampai kepada perwakilan RI di PBB.
Menjelang diorama terakhir kita bisa melihat akhir dari perjuangan panjang dan melelahkan bangsa dimana akhirnya tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan Sri Sultan HB IX bertindak selaku koordinator keamanan yang mengawasi jalannya penarikan pasukan tersebut dan diakhiri dengan adanya Persetujuan Roem-Royen pada tanggal 7 Mei 1949.
Puas mendengarkan penuturan pemandu tentang sejarah perjuangan bangsa jangan lupa menyempatkan diri ke lantai tiga dari gedung monumen yang dinamakan Garbha Graha atau Ruang Hening. Dalam ruangan ini terdapat tiang bendera dengan bendera merah putih terpasang ditengah ruangan.  Terdapat relief di dinding berupa gambar tangan yang dapat diartikan sebagai perjuangan phisik dan perjuangan diplomasi yang digambarkan dengan tangan memegang pena. Pemandu akan meminta pengunjung untuk menundukkan kepala dan berdoa sejenak bagi arwah para pahlawan yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan dapat diterima di sisi Tuhan sesuai dengan amal baktinya.
Monumen ini sangat tepat menjadi sarana kita untuk memahami sejarah tanpa harus merasa digurui karena peran pemandu dalam menyampaikan setiap cerita dalam diorama sangat menarik dan tidak menjemukan. Disini pengunjung akan disegarkan kembali ingatannya akan sejarah perjuangan bangsa dan mengetahui siapa saja tokoh-tokoh dibalik perjuangan itu. Tidak salah apabila anda mengunjungi monumen ini bersama keluarga karena selain semua tempat yang telah disebutkan monumen ini juga dilengkapi dengan taman yang terletak di bagian barat dan timur. Beberapa pentas seni seperti keroncong dan campur sari sering diselenggarakan ditaman monumen ini terutama dalam perayaan-perayaan seperti Hari Raya Idul Fitri.
Monumen ini dibuka setiap hari Selasa - Minggu pada jam 08.00 – 16.00 WIB tetapi pada masa liburan sekolah monumen ini juga buka pada hari Senin dari jam 08.00 – 14.00 WIB. Dengan biaya masuk Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 7.500 untuk wisatawan asing tempat ini layak untuk dijadikan tempat kunjungan wisata anda bersama keluarga.






GOA JATIJAJAR



























Goa Jatijajar adalah sebuah tempat wisata berupa goa alam yang terletak di desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kabupaten Dati II Kebumen. Goa ini terbentuk dari batu kapur. Goa Jatijajar mempunyai panjang dari pintu masuk ke pintu keluar sepanjang 250 meter. Lebar rata-rata 15 meter dan tinggi rata-rata 12 meter sedangkan ketebalan langit-langit rata-rata 10 meter, dan ketingian dari permukaan laut 50 meter.
Terletak 21 Km sebelah barat daya Kecamatan Gombong, atau 42 Km sebelah barat daya kota Kebumen. Legenda di dalam goa menggambarkan legenda Raden Kamandaka atau legenda lutung kasarung.
Di area Goa Jatijajar ini juga terdapat beberapa goa lainnya, seperti Goa Intan dan Goa Dempok serta tersedia taman dan Pulau Kera. Untuk menuju ke obyek wisata ini telah tersedia sarana dan prasara transportasi, penginapan serta rumah makan yang relatif representatif.
Obyek wisata Goa Jatijajar dilengkapi taman yang asri dilengkapi dengan taman bermain. Taman ini diberi nama Pulau Kera, karena di taman ini terdapat banyak patung kera. Digerbang Mulut Goa Jatijajar, terdapat lobang di antara stalagnit, sehingga bila cahaya matahari masuk terlihat sangat indah. Goa Jatijajar merupakan bukti dari legenda Kamandaka (Lutung Kasarung), dimana kisah ini secara tersirat dikisahkan melalui patung-patung yang ada di dalam Goa Jatijajar. Di dalam goa Jatijajar terdapat sebuah mata air (sendang) yang konon kabarnya akan membuat awet muda bagi yang mencuci muka di sana. Ingin bukti, datang dan cobalah.
Disamping Goa Jatijajar, masih terdapat goa yang lain seperti Goa Dempok ini. Stalagtit yang terdapat di dalam Goa Dempok terbentuk secara alami selama ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Hingga kini masih terjaga keasliannya. Goa Intan berada satu lokasi dengan obyek wisata Goa Jatijajar. Goa ini memiliki keunikan tersendiri dengan langit goa yang relatif tidak terlalu tinggi.









Sejarah
Goa ini ditemukan oleh seorang petani yang memiliki tanah diatas Goa tersebut yang Bernama "Jayamenawi". Pada suatu ketika Jayamenawi sedang mengambil rumput, kemudian jatuh kesebuah lobang, ternyata lobang itu adalah sebuah lobang ventilasi yang ada di langit-langit Goa tersebut. Lobang ini mempunyai garis tengah 4 meter dan tinggi dari tanah yang berada dibawahnya 24 meter.
Dari kisah penduduk, ada dua versi mengenai asal usul Gua Jatijajar. Pertama, setelah Djajamenawi menemukan gua, tak lama kemudian Bupati Ambal, salah satu penguasa Kebumen waktu itu, meninjau lokasi tersebut.
Pada mulanya pintu-pintu Goa masih tertutup oleh tanah. Maka setelah tanah yang menutupi dibongkar dan dibuang, ketemulah pintu Goa yang sekarang untuk masuk. Karena dimuka pintu Goa ada 2 pohon jati yang besar tumbuh sejajar, maka goa tersebut diberi nama Goa Jatijajar dari kata jati yang sejajar
Sungai dan mitos
Di dalam Goa Jatijajar terdapat 7 (tujuh) sungai atau sendang yang masih aktif, tetapi yang dapat dicapai dengan mudah hanya 4 (empat) sungai yaitu :
  1. Sungai Puser Bumi
  2. Sungai Jombor
  3. Sungai Mawar
  4. Sungai Kantil
Di dua sendang, yakni Sendang Kantil dan Sendang Mawar. Di dua sendang yang bisa didekati pengunjung itu masih dipercayai, yang mau membasuh muka dengan air sendang bisa awet muda.

Aliran air dari Sendang Mawar melewati lubang sempit hingga tembus luar gua. Namun pada dasar Sendang Kantil dijumpai lubang sempit memanjang, sehingga menelusuri gua itu harus melalui penyelaman.

Ada lagi dua sendang, yakni Sendang Jombor dan Puserbumi. Kedua sendang ini dikeramatkan. Hanya dengan izin pengelola, lorong gua itu boleh dilalui. Orang tertentu yang punya keinginan, dengan menaruh sesaji di sendang itu, konon akan dikabulkan doanya.
Kesimpulannya, untuk sungai Puser Bumi dan Jombor konon airnya mempunyai khasiat dapat digunakan untuk segala macam tujuan menurut kepercayaan masing-masing. Sedangkan Sungai Mawar konon airnya jika untuk mandi atau mencuci muka, mempunyai khasiat bisa awet muda. Adapun Sendang kantil jika airnya untuk cuci muka atau mandi, maka niat/cita-citanya akan mudah tercapai.
Pada saat ini yang telah dibangun baru Sendang Mawar dan Sendang Kantil, Sedangkan Sendang Jombor dan Sendang Puser Bumi masih alami dan masih belum ada penerangan serta licin.
Juru kunci
Sebelum Goa Jatijajar dibangun sebagai Objek Wisata, dahulu dikelola oleh juru kunci. Adapun silsilah juru kunci yang pernah mengelola Goa Jatijajar, yaitu :
  1. Juru Kunci Ke I - Jayamenawi
  2. Juru Kunci Ke II - Bangsatirta
  3. Juru Kunci Ke III - Manreja
  4. Juru Kunci Ke IV - Jayawikrama
  5. Juru Kunci Ke V - Sandikrama
Obyek wisata
Pada tahun 1975 Goa Jatijajar mulai dibangun dan dikembangkan menjadi Objek Wisata. Adapun yang mempunyai ide untuk mengembangkan atau membangun Goa Jatijajar yaitu Bapak Suparjo Rustam sewaktu menjadi Gubernur Jawa Tengah. Sedang pada waktu itu yang menjadi Bupati Kebumen adalah Bapak Supeno Suryodiprojo.
Untuk melancarkan dan melaksanakan pengembangan Goa Jatijajar ditunjuk langsung oleh Bapak Suparjo Rustam cv.AIS dari Yogyakarta, sebagai pimpinan dari cv.AIS adalah Bapak Saptoto, seorang seniman deorama yang terkenal di Indonesia. Sebelum Pemda Kebumen melaksanakan pembagunan Goa Jatijajar, terlebih dahulu Pemda Kebumen telah mengganti rugi tanah penduduk yang terkena lokasi pembangunan Objek Wisata Goa Jatijajar Seluas 5,5 hektar.
Setelah Goa Jatijajar dibangun maka pengelolanya dikelola oleh Pemda Kebumen. Sejak Goa Jatijajar dibangun, di dalam Goa Jatijajar sudah ditambah dengan bangunan-bangunan seni antara lain: pemasangan lampu listrik sebagai penerangan, trap-trap beton untuk memberikan kemudahan bagi para wisatawan yang masuk ke dalam Goa Jatijajar serta pemasangan patung-patung atau deorama.
Batuan
Di dalam Goa Jatijajar banyak terdapat Stalakmit dan juga Pilar atau Tiang Kapur, yaitu pertemuan antara Stalaktit dengan Stalakmit. Kesemuanya ini terbentuk dari endapan tetesan air hujan yang sudah bereaksi dengan batu-batu kapur yang ditembusnya. Menurut penelitian para ahli, untuk pembentukan Stalagtit itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam satu tahun terbentuknya Stalaktit paling tebal hanya setebal 1 (satu) cm saja. Oleh sebab itu Goa Jatijajar merupakan Goa Kapur yang sudah tua sekali.
Batu-batuan yang ada di Goa Jatijajar merupakan batuan yang sudah tua sekali. Karena umur yang sudah tua sekali itu, maka di muka Goa Jatijajar dibangun sebuah patung Binatang Purba Dinosaurus sebagai simbol dari Objek Wisata Goa Jatijajar, dari mulut patung itu keluar air dari Sendang Kantil dan Sendang Mawar, yang sepanjang tahun belum pernah kering. Sedangkan air yang keluar dari patung Dinosaurus tersebut dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai pengairan sawah desa Jatijajar dan sekitarnya.
Diorama
Sejak 1974, Pemerintah Kabupaten Kebumen dan Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mulai menangani gua itu sebagai objek wisata. Setahun kemudian, di sepanjang lorong gua ditempatkan 32 patung yang menggambarkan legenda Raden Kamandaka. Legenda itu sangat terkenal di daerah Banyumas.
Diorama yang di pasang dan dalam Goa Jatijajar ada 8 (delapan) deorama, yang patung-patungnya ada 32 buah. Keseluruhannya mengisahkan cerita Legenda dari "Raden Kamandaka - Lutung Kasarung". Adapun kaitannya dengan Goa Jatijajar ialah, dahulu kala Goa Jatijajar pernah digunakan untuk bertapa oleh Raden Kamandaka Putera Mahkota dari Kerajaan Pajajaran, yang bernama aslinya Banyak Cokro atau Banyak Cakra.
Perlu diketahui bahwa zaman dahulu sebagian dari wilayah Kabupaten Kebumen, adalah termasuk wilayah kekuasaan Pajajaran, yang pusat pemerintahannya di Bogor (Batutulis) Jawa Barat.
Adapun batasnya yaitu Kali Lukulo dari Kabupaten Kebumen sebelah Timur Kali Lukulo masuk ke wilayah Kerajaan Mojopahit, sedangkan sebelah barat Kali Lukulo masuk wilayah Kerajaan Pajajaran. Sedangkan cerita itu terjadinya di kabupaten Pasir Luhur, yaitu daerah Baturaden atau Purwokerto pada abad ke-14. Namun keseluruhan Deoramanya dipasang di dalam Goa Jatijajar.





KERATON YOGYAKARTA

keraton_yogya.jpg








Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
(Keraton Yogyakarta)
180px-Jogja
            Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana salah satu kerajaan nusantara. Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta (bersama-sama Kadipaten Paku Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta
Tata Ruang dan Arsitektur
Arsitek istana ini adalah Sultan Hamengku Buwono I sendiri, yang merupakan pendiri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda - Dr. Pigeund dan Dr. Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta". Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[6] diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939).

Tata Ruang


Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.

Arsitektur Umum

Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.

Kompleks Depan

Gladhag-Pangurakan

Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan[16].
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.

Alun-alun Ler


Tanah lapang, "Alun-alun Ler", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin Kurung-nya
Alun-alun Ler adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem [23] yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe"[24] saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah[26]. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Ler digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.

Mesjid Gedhe Kasultanan

Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Boto pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.

Kompleks Inti

Kompleks Pagelaran

Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan [Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.

Siti Hinggil Ler

Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegor sampai sekitar tahun 1926. Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan.
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.

Kamandhungan Lor

Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati di mana Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.[37]

Sri Manganti

Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan . Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.

Kedhaton


Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna.
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya. Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak, Bangsal Mandalasana, Gedhong Patehan[44], Gedhong Danartapura, Gedhong Siliran, Gedhong Sarangbaya, Gedhong Gangsa[48], dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.

Kamagangan

Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.

Kamandhungan Kidul

Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang.

Siti Hinggil Kidul

Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.




Bagian Lain Keraton

Pracimosono

Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.

Roto Wijayan

Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.

Kawasan Tertutup

Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.

Taman Sari


Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta
Kompleks Taman Sari Keraton Yogyakarta merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden)berarti taman yang indah, di mana zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat Sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.Kadipaten
Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau dikenal dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran Adipati Anom". Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan sebagai kampus Univ Widya Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang Lengkung/Plengkung Tarunasura (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa Masjid Selo yang dulu berada di Sawojajar.

Benteng Baluwerti

Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota di tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika beliau telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan Plengkung, dua diantaranya hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga kini.

Bagian lain yang terkait

Keraton Yogyakarta juga mempunyai bangunan-bangunan yang berada di luar lingkungan Keraton itu sendiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kaitan yang erat dan boleh jadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Tugu Golong Gilig

Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white pole) merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola (golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada Washington Monument di Washington DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini didirikan kembali. Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti yang dapat disaksikan sekarang (Januari 2008). Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring penyebutan bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.

Panggung Krapyak

Panggung krapyak dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu menjangan (rusa/kijang) oleh keluarga kerajaan. Berlokasi dekat Ponpes Krapyak, konon tempat Gus Dur (presiden IV) pernah menimba ilmu, bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Namun demikian, bangunan ini lebih mirip dengan gerbang kemenangan, Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.

Kepatihan

nDalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.

Pathok Negoro

Mesjid Pathok Negoro yang berjumlah empat buah menjadi penanda batas wilayah ibukota (?). Lokasi masjid ini berada di Ploso Kuning (batas utara), Mlangi (batas barat), Kauman Dongkelan (batas selatan), dan Babadan (batas timur). Pendirian masjid ini juga memiliki tujuan sebagai pusat penyiaran agama Islam selain masjid raya kerajaan. Kedudukan masjid ini adalah setingkat dibawah masjid raya kerajaan. Ini dapat dilihat dari kedudukan para imam besar/penghulu (jw=Kyai Pengulu) masjid ini menjadi anggota Al-Mahkamah Al-Kabirah, badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan agama Islam, dimana imam besar masjid raya kerajaan (Kangjeng Kyai Pengulu) menjadi ketua mahkamah.

Bering Harjo

Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada zamannya. Berlokasi di sisi timur jalan Jend. A Yani, pasar Bering Harjo sampai saat ini menjadi salah satu pasar induk di Yogyakarta. Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan aslinya. Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor barat dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar tradisional yang merakyat.

Warisan Budaya

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.

Tumplak Wajik

Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.

Garebeg

Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.

Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan

Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada ditengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.









Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms)

Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah.
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri.
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain. Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan KK Gadawedana, pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek); Wedhung, (KK Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng).
Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran (mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan mata dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung Mungsuh).
Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa beliau masih menjadi putra mahkota, KK Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya.

Regalia

Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan maknanya sebagai berikut:
  1. Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
  2. Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
  3. Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
  4. Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
  5. Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
  6. Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
  7. Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
  8. Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
  9. Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.

















Lambang Kebesaran (Royal Attribute)

KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas) berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di sebelah kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah); Gendhewa (busur panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak (kipas dari bulu merak); KK Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); Sajadah (karpet/tikar ibadah); Songsong (payung kebesaran); dan beberapa Tombak. KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro, pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.

Gamelan

Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro. Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti di tahun 1755.
KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK Harja Mulya (dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).

Kereta Kuda Pilihan

Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10, dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.

Tanda Jabatan

Beberapa pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang yang memakainya. Sebagai contoh adalah keris KKA Kopek. Keris utama Keraton Yogyakarta ini merupakan keris yang hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang bertahta yang melambangkan martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana beliau menjadi kepala kerajaan. oleh Sultan sendiri. Keris KK Joko Piturun merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Pangeran Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda jabatannya. Keris KK Toyatinaban merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra tertua Sultan, sebagai lambang kedudukannya selaku Kepala Parentah Hageng Karaton (Lembaga Istana). Keris KK Purboniyat merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Kangjeng Pangeran (h)Adipati (h)Aryo Danurejo, sebagai simbol jabatannya sebagai Pepatih Dalem.

Pemangku Adat Yogyakarta

Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X.

Filosofi dan Mitologi Seputar Keraton

Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an) merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton. Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran [?])merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna "sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi terakhirnya.
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan" asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam (Tamarindus indica [?]) dan tanjung (Mimusops elengi [?]) yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven).
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol "manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa Dwarapala yang terdapat di samping gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan kejahatan dan yang lain, Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat".
Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu. Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem" (damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan).
Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka rela berdesak-desakan sekedar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memiliki daya magis untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makkah (kiswah), dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan mengelilingi benteng baluwerti. Konon peristiwa terakhir terjadi di tahun 1947. Dipercayai pula oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot, roh penunggu hutan Beringan tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah satu tiang utama di nDalem Ageng Prabayaksa. Roh ini dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari gangguan.


MALIOBORO

Jalan Malioboro adalah nama jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta yang terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi dan Jalan Jend. A. Yani, Jalan ini merupakan poros Garis Imaginer Kraton Yogyakarta.
Terdapat beberapa obyek bersejarah di jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.
Malioboro ImageKeramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak, blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup ramai saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.

Ujung jalan Malioboro yang satu terhubung dengan jalan Mangkubumi dan dibatasi oleh stasiun kereta api Tugu dan ujung satunya lagi terhubung dengan jalan A.Yani. Dalam areal kawasan Malioboro dan sekitarnya banyak lokasi lain yang dapat dikunjungi misalnya Siti Inggil Keraton Jogjakarta, pasar Beringhardjo, benteng Vredeburg, Gedong Senisono, Museum Sono Budoyo dan lainnya. Saat ini Malioboro bisa dikatakan sebagai jantung keramaian kota Jogja, karena banyaknya pedagang dan pengunjung yang berlalu lalang. Kawasan yang sangat ramai baik di dua sisi jalan yang berkoridor maupun pada jalan kendaraan walau satu arah dari jalan Mangkubumi akan tetapi berbagai jenis kendaraan melaju dan memenuhi di jalan tersebut dan tidak heran kalau terjadi kemacetan. Dari kendaraan tradisional seperti becak, dokar/andong/delman, sepeda, gerobak maupun kendaraan bermesin seperti mobil, taxi, bis kota, angkutan umum, sepeda motor dan lainnya.
Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan kota Jogja, ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tak ketinggalan para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan, pusat perbelanjaan dan rumah makan yang ada sebenarnya sama seperti pusat bisnis dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang disemarakan dengan nama-merk besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang diperdagangkan dari barang import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran mata uang asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.

Namun jangan ketinggalan untuk menelusuri jalan Malioboro yang sudah sangat terkenal tersebut. Bisa dengan berjalan kaki dari ujung ke ujung pada dua sisi jalan, atau dengan ‘dokar’ [delman/andong] dan becak khas Jogja. Di siang hari kawasan Malioboro sangat ramai pengunjung baik warga maupun wisatawan, terlebih lagi bila musim liburan sekolah tiba atau ada hari libur nasional yang cukup panjang. Sebenarnya jalan Malioboro dari ujung ke ujung hanya berjarak lebih dari satu kilometer saja, dan pada dua sisinya banyak sekali toko, kantor, rumah makan dan mall serta pusat perbelanjaan, menariknya lagi banyak sekali pedagang kaki lima yang berjajar dibawah koridor jalan yang memayungi dari terik panas matahari maupun hujan. Keramian ini dimulai sejak pagi hingga sembilan malam saat pusat perbelanjaan pada tutup, namun denyut kehidupan kawasan Malioboro tidak pernah berhenti karena sudah siap warung-warung lesehan menggelar dagangannya.

Untuk bermalam di sekitar Malioboro juga mudah didapat penginapan dari tipe melati hingga hotel bintang lima. Para wisatawan tidak akan kuatir untuk dapat menikmati pula hari-hari liburannya di kota Jogja hingga larut malam sekalipun. Mereka dapat menikmati hidangan-hidangan di warung lesehan di sepanjang jalan Malioboro, makanan yang disediakan dan ditawarkan dari jenis makanan khas Jogja yaitu nasi gudeg dan ayam goreng dan juga makanan Padang, ChinesseFood dan lain sebagainya. Saat menikmati hidangan yang disajikan akan dihibur oleh musik dari pedagang dan pengamen jalanan yang cukup banyak dari yang hanya sekedar bawa gitar adapula yang membawa peralatan musik lengkap.

Ada sebuah perhatian khusus bagi wisatawan yang hendak menikmati warung lesehan yaitu menanyakan dulu harga makanan yang hendak dipesan sebelum ada sebuah tagihan yang kurang berkenan dihati, sampai-sampai hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah daerah yaitu dengan menggantung papan di kawasan Malioboro dengan tulisan “Mintalah daftar harga sebelum anda memesan”. Carilah warung makan yang dianggap wajar dalam memberi harga dari sebuah hidangan makan dan minuman yang disajikan, memang perbuatan menaikan tarif yang tidak wajar ini sangat menurunkan citra warung lesehan yang ada di kawasan Malioboro. Sangat disayangkan kalau para wisatawan berkunjung ke Jogjakarta dan sekitarnya serta khususnya kawasan Malioboro ini hanya satu hari berkunjung. Inilah menyebabkan banyak wisatawan domestik maupun asing menghabiskan semua waktu liburnya yang cukup panjang hanya untuk kunjungan wisata ke Jogja dan sekitarnya.
 Malioboro dulu...






MUSEUM DIRGANTARA













Museum ini terletak di ujung utara Kabupaten Bantul perbatasan dengan Kabupaten
Sleman tepatnya di komplek Pangkalan Udara TNI-AU Adisucipto Yogyakarta. Museum ini banyak menampilkan sejarah kedirgantaraan bangsa Indonesia serta sejarah perkembangan angkatan udara RI pada khususnya. Selain terdapat diorama
juga terdapat bermacam-macam jenis pesawat yang dipergunakan pada masa perjuangan. Beberapa model dari pesawat tersebut adalah milik tentara jepang yang digunakan oleh angkatan udara Indonesia

            Keberadaan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala berdasarkan atas gagasan dari Pimpinan TNI AU untuk mengabadikan dan mendokumentasikan segala kegiatan dan peristiwa bersejarah di lingkungan TNI AU. Hal tersebut telah lama dituangkan dalam Keputusan Menteri/ Panglima Angkatan Udara No. 491, tanggal 6 Agustus 1960 tentang Dokumen dan Museum Angkatan Udara. Setelah mengalami proses yang lama, pada tanggal 21 April 1967, gagasan itu dapat diwujudkan dan organisasinya berada di bawah Pembinaan Asisten Direktorat Budaya dan Sejarah Menteri Panglima Angkatan Udara di Jakarta. Berdasarkan Instruksi Menteri/ Panglima Angkatan Udara Nomor 2 tahun 1967, tanggal 30 Juli 1967 tentang peningkatan kegiatan bidang sejarah, budaya, dan museum, maka Museum Angkatan Udara mulai berkembang dengan pesat. Berkat perhatian yang besar, baik dari Panglima Angkatan Udara maupun Panglima Komando Wilayah Udara V (Pang Kowilu V), pada tanggal 4 April 1969 Museum Pusat TNI AU yang berlokasi di Markas Komando Udara V, di Jalan Tanah Abang Bukit Jakarta, diresmikan oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana Roesmin Noerjadin.

            Berdasarkan berbagai pertimbangan bahwa kota Yogyakarta pada periode 1945-1949 mempunyai peranan penting dalam sejarah, yaitu tempat lahirnya TNI AU dan pusat kegiatan TNI AU, serta merupakan kawah Candradimuka bagi Kadet Penerbang/ Taruna Akademi Angkatan Udara. Berdasarkan Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Kep/11/IV/1978, museum yang semula berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Skep/04/IV/1978 tanggal 17 April 1978, museum yang berlokasi di Kampus Akabri Bagian Udara itu ditetapkan oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, pada tanggal 29 Juli 1978 yang bertepatan dengan peringatan Hari Bhakti TNI AU. Perkembangan selanjutnya, museum itu tidak dapat menampung lagi koleksi alutsista yang ada karena lokasinya yang sukar dijangkau oleh umum dan kendaraan. Oleh karena itu, Pimpinan TNI AU memutuskan untuk memindahkannya ke gedung bekas pabrik gula di Wonocatur Lanud Adisucipto. Sebelum pemindahan dilakukan gedung itu direhabilitasi untuk dijadikan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Pada tanggal 17 Desember 1982, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menandatangani prasasti sebagai bukti dimulainya rehabilitasi gedung itu.

            Penggunaan dan pembangunan kembali gedung bekas pabrik gula itu diperkuat dengan Surat Perintah Kepala Staf TNI AU Nomor Sprin/05/IV/1984, tanggal 11 April 1984. Dalam rangka memperingati Hari Bhakti TNI AU, tanggal 29 Juli 1984, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Sukardi meresmikan gedung yang sudah direhabilitasi itu sebagai gedung Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Lokasi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala itu berada di Pangkalan Udara Adisucipto, di bawah Sub Dinas Sejarah, Dinas Perawatan Personel TNI AU, Jakarta.

            Bangunan, Gedung Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala yang ditempati sekarang adalah bekas pabrik gula Wonocatur pada zaman Belanda, sedangkan pada zaman Jepang digunakan untuk gudang senjata dan hanggar pesawat terbang.

Koleksi, Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala memamerkan benda-benda koleksi sejarah, antara lain : koleksi peninggalan para pahlawan udara, diorama, pesawat miniatur, pesawat terbang dari negara-negara Blok Barat dan Timur, senjata api, senjata tajam, mesin pesawat, radar, bom atau roket, parasut dan patung-patung tokoh TNI Angkatan Udara.







































MUSEUM KERETA











Museum Keraton dirintis pada masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Pada masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, urusan kepariwisataan dipercayakan kepada Parentah Luhur Keraton yang kemudian berganti nama Kawedanan Kori, dan akhirnya berganti nama Tepas Dwara Pura. Pemandunya diambil dari KHP Widya Budaya, seiring dengan makin banyaknya pengunjung maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendirikan Bebadan Museum Keraton.
Sejak 1 Oktober 1969 kantor Bebadan Museum Keraton, dan menempati bangsal Pecaosan yang terletak di sebelah barat gerbang Sri Manganti, persisnya di Jalan Rotowijayan. Keraton memiliki beberapa museum yang lebih dikenal dengan Museum Keraton Yogyakarta, yang didalamnya terdapat museum, Lukisan, Keraton, Hamengku Buwono IX dan museum Kereta, Museum Hamengku Buwono IX terletak dalam kompleks Keraton yang didalamnya berisi benda-benda yang pernah digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk perlengkapan fotografi, Kyai Garuda Yeksa kereta yang digunakan untuk kirab upacara penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono VI – X; Kyai Jaladara digunakan tugas keliling desa; Kyai Kanjeng Jimat digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai III untuk acara Garebeg atau menjemput tamu-tamu khusus.
Bangunan
Museum ini didirikan di atas tanah seluas 14.000 m2 dengan ciri arsitektur Jawa.
Koleksi
Museum Keraton memiliki berbagai macam jenis baik yang terbuat dari perunggu, kayu jati, kertas, kaca besi dan kulit antara lain :
Peralatan rumah tangga, keris, tombak, wayang, gamelan, naskah kuno, foto dan lukisan diantaranyaada yang berusia sampai 200 tahun.
Koleksi unggulan, berupa perlengkapan jumenengan (penobatan raja), terdiri atas banyak, dalang, sawung, galing, hardawalika, kutuk, kandil, kacu mas, dan cepuri yang dibuat dari bahan kuningan sehingga semua peralatan tersebut berwarna kuning keemasan.Benda-benda tersebut secara simbolis menggambarkan sifat-sifat raja yang arif dan bijaksana, koleksi peralatan jumenengan diperlakukan secara khusus, seperti juga benda-benda yang pusaka yang lain yang dianggap bertuah, selalu disajeni pada hari hari tertentu.
Kegiatan Pendukung
Kegiatan rutin dalam rangka mendukung peningkatan apresiasi masyuarakat terhadap museum antara lain :
Macapat,  Jum’at 10.00 – 12.00 wib, Bangsal Sri Manganti
Karawitan, Senin/Selasa 10.00 – 12.00 wib, Bangsal Sri Manganti
Wayang Kulit, Sabtu 10.00 – 12.00 wib, Bangsal Sri Manganti
Wayang Orang, Minguu 11.00 – 13.00 wib, Bangsal Sri Manganti
Koleksi Kereta Kraton :
Kereta Kyai Jaladara
dipergunakan Sri Sultan Hamengku Buwono IV, untuk tugas inspeksi ke desa-desa. Buatan Perancis (LABOURDDETTE) Tahun 1818.
Kereta Kutaka Kaharjo
Pada masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, sering dipergunakan pageran-pangeran dan dibuat Jerman Tahun 1927
Kereta Kyai Manda Juwala
Dipergunakan Pangeran Diponegoro untuk sowan ke kraton dari tegalrejo, buatan Inggris tahun 1800
Kereta Kyai Kanjeng Nyai Jimad
Dipergunakan sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai III, khusus untuk upacara kebesaran (grebeg) dan menjemput tamu-tamu jenderal, buatan Belanda tahun 1750.
Kereta Kyai Garuda Yeksa
Dipergunakan untuk penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono VI sampai dengan X, butan Belanda tahun 1861
Kereta Kyai Harsunaga
Dipergunakan Sri Sultan Hamengku Buwono VI sampai dengan VIII, untuk menonton pacuan kuda buatan Belanda tahun 1870.
Kereta Landower Wisman
digunakan Bupati Kraton, buatan tahun 1938
Kereta Janasah
Untuk mengantar janasah Sri Sultan, kepemakaman raja-raja di Imogiri







PENUTUP
            Dari bacaan diatas dapat disimpulkan bahwa Yogyakarta memiliki banyak sekali tempat wisata yang unik dan mengagumkan, tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat yang indah. Dan semua itu sangat berkaitan erat dengan pendidikan, karena dengan mengetahui tempat-tempat wisata tersebut kita bisa tahu sejarah dan menambah ilmu pengetahuan.














DAFTAR PUSTAKA
http://navigasi.net/goart.php?a=lajogkbl
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Borobudur
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Prambanan
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sejarah DIY
http://id.wikipedia.org/wiki/Gua_Jatijajar
http://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Malioboro
dirgantara http://bantulbiz.com/id/bizpage_wisata/id-139.html
http://www.potlot-adventure.com/2009/09/25/museum-kereta-keraton/

studentsite.gunadarma.ac.id